DR. Hj. Fadlilah Husain Jamil, M.Pd.
Peringatan HARI IBU tahun ini didahului oleh
berbagai berita yang memaksa kita geleng
kepala, peristiwa yang menampilkan sikap dan perilaku perempuan yang tidak
seharusnya. Sebut saja Anggelina Sondah
yang terpuruk karena kasus korupsi,
seorang ibu yang membuang bayi hasil hubungan gelapnya ke sungai, seorang ibu
di Kampar yang tega menyiksa anak tirinya dan membuangnya ke perkebunan, tertangkapnya
dukun spesialis aborsi yang pelanggannya adalah para remaja puteri yang juga
banyak diantar oleh ibunya masing-masing dalam melakukan aborsi. di Jambi ada
hakim yang nota bene seorang ibu yang berprilaku mesum, dan yang tak kalah
memukaunya seorang Ratu Atut yang menyalahkangunakan kekuasaan dan pengaruhnya
secara massive demi memenuhi nafsu serakah keluarga dan kelompoknya. Serta sederetan
catatan panjang perilaku menyimpang yang melibatkan kaum perempuan atau kaum
ibu.
Wajah
Pendidikan Indonesia Kini
Sulit untuk diurai dan dijawab, kira-kira apa
yang melatarbelakangi munculnya perilaku kontra produktif dari berbagai
kalangan masyarakat. Masihkah relevan mengaitkannya dengan faktor ekonomi? Bukankah
pelaku perilaku menyimpang yang di sebut
di atas tidak semua dari kalangan ekonomi lemah?, atau faktor tingkat
pendidikan yang menjadi penyebab? Namun kurang tinggi apalagi tingkat
pendidikan para koruptor dan criminal yang wajahnya kerap terpampang di media
elektronik dan media cetak, yang ternyata banyak juga melibatkan perempuan?
Memang, tidak terpungkiri bahwa tingkat
pendidikan kaum perempuan sudah semakin baik- apalagi bila dibandingkan dengan
kondisi beberapa dekade yang lalu- saat ini tidak sedikit perempuan yang mampu
meraih gelar pendidikan dan prestasi tertinggi, namun peningkatan tingkat
pendidikan tersebut belum berbanding lurus dengan peningkatan akhlak bangsa. Salah
satu indikasinya adalah semakin banyaknya remaja yang menampilkan degradasi
akhlak, yang penyebabnya karena semakin tingginya jumlah orang tua yang
melakukan pendidikan yang salah terhadap anak-anak remajanya. Padahal
disepakati bahwa pendidik pertama dan utama dalam keluarga adalah orang tua/Ibu.
Jika demikan tidaklah berlebihan bila dikatakan, bahwa pendidikan kita saat ini
tidak lagi ampuh membangun akhlak luhur bangsa. Sosok Ibu sebagai penoreh
karakter anak-anaknya tak lagi menuliskan tinta emas budi pekerti luhur,
sebaliknya justeru contoh buruklah yang kerap ditampilkan.
Berkaca pada
Pendidikan Masa Lampau
Pendidikan yang telah berjalan sepanjang usia
bangsa ini, secara historis pernah berjaya di era Hasyim Asy”ari, Ahmad Dahlan,
Ki hajar Dewantoro, Budi Utomo dan lainnya. Pendidikan di zaman tersebut
mengedepankan karakter yang kuat dan teguh tak tergoyahkan. Penanaman nilai
hidup sederhana dan tolong menolong mendukung terbangunnya karakter yang jauh
dari sifat tamak dan mementingkan diri sendiri. Konten kurikulum yang tidak terlalu padat juga membantu para
peserta didik untuk lebih fokus mengadaptasi aspek softskill atau aspek sikap, disamping tetap melatih aspek hardskill.
Beberapa faktor yang menjadi kunci
keberhasilan sistem pendidikan masa lampau, diantaranya adalah faktor Keteladanan. Sosok pendidik bukan hanya
melakukan transfer of knowledge,
tetapi sekaligus menjadi role model
dalam berfikir, bertutur kata dan berperilaku, sesuai dengan nilai agama yang dianut dan sesuai
dengan nilai-nilai luhur bangsa. Faktor lainnya adalah konten pendidikan yang memuat
nilai yang bersifat universal dan relevan dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun.
Nilai dimaksud adalah Akhlakul Karimah,
baik akhlak terhadap sang Pencipta, akhlak terhadap sesama manusia, maupun
akhlak terhadap alam semesta.
Faktor Keteladanan dan Akhlakul Karimah baru
dua diantara banyak keunggulan pendidikan masa lampau, namun bila dicermati dan
dicari ke dalam implementasi pendidikan kita kini, maka kedua faktor tersebut
akan sulit ditemukan. Disebabkan pesatnya perkembangan IPTEK, turut merubah
orientasi dan pola kehidupan ummat manusia, bila masa lampau manusia
berorientasi kepada bagaimana menjalani hidup dalam keseimbangan alam, terbebas
dari penjajahan dan perbudakan, maka di era modern ini manusia berorientasi
kepada kehidupan hedonis dan menuruti nafsu dunia yang tanpa batas.
Perlu
Dukungan Segenap Pemangku Kepentingan
Tidaklah salah, bahkan sungguh mulia bila kita
berusaha kembali mengusung pendidikan berbasis akhlak mulia dan budi pekerti
luhur, layaknya pendidikan masa lampau. Tentu dengan menyesuaikan dengan
kebutuhan, metode dan konten dengan karakteristik masyarakat sekarang, bukan
hanya karakteristik masyarakat lokal Indonesia tetapi juga menyesuaikan dengan
karakteristik masyarakat dunia. Bagaimanapun juga kita tidak mungkin menafikan
tuntutan kehidupan kekinian dan masa depan, sebagai akibat dari perkembangan
zaman yang memang merupakan keniscayaan.
Nah.. mampukah menjadi TELADAN, para
fikur-figur publik yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh
terhadap pembentukan akhlak bangsa ini; para orang tua, pendidik, pemerintah,
anggota legislative, tokoh masyarakat, bahkan artis yang setiap saat
perilakunya disaksikan dan dijadikan inspirasi oleh masyarakat?...Semua
tergantung political will dan
komitmen penyelenggara Negara tercinta ini.
Komentar