Orasi Ilmiah


         Mewujudkan Ilmuwan Muslim Yang Memiliki Integritas Moral
   
          Puji syukur tidak henti-hentinya mengalir di setiap helaan nafas, atas segenap rahmat dan anugerah, yang tidak akan tercatat seluruhnya, meskipun seluruh laut di dunia dijadikan tinta untuk menuliskannya. Salawat dan Salam kepada sang pendidik sejati, teladan moral dan ushwatun hasanah  bagi kita semua,  yaitu Rasulullah Muhammad Saw.

 Hadirin para undangan yang saya hormati.


Para futurist mengatakan bahwa kita sedang berada di abad pengetahuan, di mana ilmu pengetahuanlah yang menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling & hood, 1999). Di abad ini, orang yang berpengatahuan saja yang mampu menaklukkan kehidupan yang semakin keras dan menggelobal. Di abad ini juga pendidikan diarahkan kepada mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.
Memasuki hidup dan dunia kerja tanpa kawalan moral agama, terlebih di era globalisasi yang ketat dengan kompetisi, sama halnya menjerumuskan mereka ke hutan belantara yang penuh dengan binatang buas, Setiap saat, kapan dan dimana saja, jika tidak memiliki kemampuan menerkam, maka mereka akan diterkam dan dilumat habis oleh kejamnya sistem kehidupan, yang diakibatkan oleh terkikisnya sendi-sendi moral dan etika bangsa. Kita saksikan betapa kehidupan telah mempertontonkan dekadensi moral yang semakin meluas. Korupsi, kolusi, nepotisme, penipuan, perbuatan asusila dan saling jegal satu sama lain.
Sebagai agent of change  Alumni IAIN harus mampu mengalahkan segala tantangan zaman, mengingat adanya predikat Islam pada almamater yang menaunginya, bukan menjadi bagian yang terbawa arus dan menambah kisruhnya persoalan bangsa.
Setidaknya ada empat hal yang perlu menjadi diperhatian sebagai penyebab krisis moral terjadi.
”Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama, menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam (self control).
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh orang tua, sekolah dan masyarakat.
Ketiga, derasnya arus budaya materialistik, hedonistik dan sekularistik.
keempat, belum adanya kemauan sungguh-sungguh dari pemerintah. Kekuasaan, dana, teknologi, sumber daya manusia peluang yang dimiliki pemerintah, belum banyak digunakan untuk meningkatkan akhlaq bangsa.” (Nata, 2003 : 221-223).
Lembaga pendidikan tidak mungkin berjuang sendiri untuk mencerdaskan bangsa, sinergitas antara lembaga pendidikan, pemerintah dan masyarakat sebagai stakeholders dibutuhkan dalam membangun pendidikan di negeri ini.
Setidaknya ada upaya untuk sama-sama mencermati kembali paradigma pendidikan yang selama ini melandasi cara kita memandang pendidikan.
            Sedikit menoleh sejarah, dunia pendidikan pernah dipengaruhi persepsi Deskartes dan Newton. Di mana dunia dan alam dipandang sebagai suatu sistem mekanikal, Akibat pemikiran ini, Pendidikan dianggap sebuah hubungan mekanikal semata, tidak bernyawa dan tidak saling mempengaruhi. Lebih dari tigaratus tahun para pakar memandang dunia dan alam sebagaimana pandangan Deskartes dan Newton. Namun berkat perkembangan pemikiran para filosuf, pada abad pertengahan, pemikiran descartes dan newton akhirnya diabrogasi (dibatalkan) oleh pandangan Aristoteles yang memandang bahwa alam semesta sebagai suatu kesatuan organik yang hidup dan spiritual.
Berkat Aristoteles, sistem pendidikan seharusnya dipandang sebagai suatu organisme, yang di dalamnya tenaga pendidik dan kependidikan,  peserta didik, kurikulum, materi pengajaran, teknik belajar mengajar, perpustakaan, laboratorium, pimpinan lembaga, sarana dan sebagainya, masing –masing merupakan komponen yang mempengaruhi dan dipengaruhi komponen lainnya, dan bersama-sama turut menentukan mutu dan efisiensi lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Sebagai kesatuan organik, di dalam tubuh pendidikan mengalir pembuluh energi yang melaluinya dialirkan seluruh upaya yang bertujuan mengembangkan sebaik mungkin bakat peserta didik, baik yang terlihat maupun yang masih terpendam. Sesuai dengan arti etimologi kata “education” yang berasal dari bahasa latinnya “educere” dan educare” Dalam proses educere sang guru melimpahkan pengetahuan dari dirinya ke dalam diri peserta didik (mengajar), sedangkan dalam educare ia berupaya menarik keluar menampilkan bakat siswa dan mengembangkannya dalam lingkungan dan suasana pendukung yang sengaja diciptakannya. (Makagiansar, 2002:149). Dengan demikian pendidikan harus  mencakup empat pilar pendidikan yaitu; belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know), belajar untuk berbuat (learning to do)  dan siap untuk dapat belajar hidup bersama (learning to live together) serta belajar untuk menjadi seseorang yang bertanggung jawab sebagai individu dan sebagai makhluk sosial (learning to be) (Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, 1999:64-69).
Hadirin para undangan yang saya hormati.
           Perguruan tinggi hendaknya bukan saja merupakan suatu masyarakat belajar, dimana dosen dan mahasiswa bersama-sama terlibat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan moralitas, Lebih dari itu, seharusnya sekaligus merupakan masyarakat yang tidak bertuan, “a bossless society”. Dalam hal ini baik pimpinan perguruan tinggi, fakultas dan jurusan, maupun korp dosen, berfungsi sebagai pembuka dan penunjuk jalan, bagi mahasiswa menjelajahi rimba lebat yang kaya raya akan sumber ilmu pengetahuan dan warisan kebijakan kolektif umat manusia. Antara pimpinan dan yang dipimpin tak ada dinding pemisah, tetapi terujud suatu transparansi dimana semua pihak memikul tanggung jawab bersama dalam menempatkan nilai tertinggi “mencerdaskan masyarakat dan bangsa”. (Makagiansar, 2002:149).
Surat Al-Alaq ayat 1-5 mengandung makna akan keluasan konsep pendidikan yang ditawarkan Islam. Allah Swt. membentangkan seluruh alam ciptaannya sebagai sumber belajar (bacaan), manusia belajar tanpa batas, termasuk memahami asal kejadiannya, agar manusia tidak pernah lupa kodratnya sebagai makhluk Allah Swt, makhluk yang tidak tahu apa-apa sebelum di ajarkan ilmu kepadanya.
 “Bacalah dengan menyebut nama tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak dikatahuinya. (Al-Alaq / 96 :1-5)
  Guru/dosen dewasa ini banyak menjadi sorotan, sebagai salah satu penyebab gagalnya pendidikan dalam membentuk pribadi bermoral. Tudingan tersebut cukup beralasan, mengingat guru/dosen adalah ujung tombak tercapainya pendidikan. Al-ghazali bahkan mengibaratkan guru sebagai sebatang tongkat, dan murid adalah bayangannya. Bagaimana mungkin bayangan sebatang tongkat akan lurus bila tongkat itu sendiri bengkok? (Al-Gazali 2001: 62)
Guru/dosen merupakan komponen pendidikan yang tengah menghadapi persoalannya sendiri. persoalan kualitas, kompetensi dan profesionalismenya sedang terusik, terlebih bila dikaitkan dengan kebijakan sertifikasi. Meski belum menjawab tuntutan profesionalisme, sertifikasi gurul/dosen setidaknya menjadi hentakan bagi guru/dosen yang telah lama menikmati zona nyaman tanpa kreatifitas.
 Masih ditemukannya praktik pengajaran yang menempatkan  guru/dosen sebagai sentral dalam proses pembelajaran. Sementara kualitas yang dituntut dunia global mengharuskan diterapkannya pembelajaran yang terpusat  kepada peserta didik. Seyogyanya bahwa, siswa/mahasiswa  tidak dipandang sebagai bejana kosong yang siap menampung apapun yang dituangkan guru/dosen ke dalamnya. Tetapi peserta didik adalah subjek pembelajar yang berinteraksi dengan  guru/dosen dalam proses perubahan. Karena sejatinya pendidikan adalah proses perubahan prilaku, perubahan persepsi, dan cara berfikir.
 Di dalam proses pembelajaran bukan hanya murid/mahaisiswa yang belajar dari guru/dosen tetapi guru juga belajar dari murid.  Al-Ghazzali dengan mengutip hadis Rasulullah Saw. mengatakan bahwa, “guru dan murid ibarat orang tua dan anaknya.” (Al-Gazzali, 2001: 60) dan kitapun menjadi saksi, bagaimana kehidupan membentangkan kenyataan di hadapan kita bahwa dalam banyak hal orang tua memang selalu harus belajar dari anak-anaknya, itulah hakikat orang tua sejati.
Namun di atas itu semua, kepemimpinan pendidikan tidak boleh lepas dari tanggung jawab pendidikan. Karena di tangannyalah lahir kebijakan-kebijakan yang akan menjamin berfungsi tidaknya setiap aspek pendidikan. Guru/dosen dan komponen pendidikan lainnya ibarat gerigi gerigi roda yang hanya akan berputar menghantarkan lembaga menuju tujuan, bila sang pemimpin mampu mengemudi dengan segenap pengetahuan dan kompetensi tranformational, serta moral agama yang mumpuni.
Akhirnya kepada segenap hadirin, mari bersinergi membangun manusia seutuhnya,  manusia yang cerdas jasmani dan cerdas rohani. Manusia yang mampu mengemban amanah kekhalifahan, sebagaimana Firman Allah Swt:

ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر واولئك هم المفلحون.
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran/3 : 104)
Demikian apa yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan ini, mohon dimaafkan atas segala kekhilafan.


Disampaikan pada rapat senat terbuka dalam rangka Dies Natalis IAIN Sulthan Thaha Saifuddin  Jambi Desember 2010. Oleh : Dr. Hj. Fadlilah Husain Jamil, M.Pd.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baju Bodo Bugis